Social Icons

07 September 2008

Enaknya Jadi Orang Biasa

Oleh: Arda Dinata

BIASA diartikan sebagai sediakala (sebagai yang sudah-sudah, tidak menyalahi adat, tidak aneh). Orang biasa berarti orang kebanyakan. Dialah manusia yang berperilaku ‘apa adanya’ sesuai dengan tuntutan-Nya dan Rasulnya.

Orang biasa merupakan orang yang tidak mempersulit dirinya sendiri. Yakni dengan tidak mempergunakan seribu (bahasa) topeng semata-mata dalam hidupnya. Dan percayalah, sesungguhnya orang yang memperbudak dirinya –dengan topeng kehidupan--, maka ia akan diselimuti ketidak puasan hati, ketidak tentraman, kebingungan, ketakutan, dan kesunyian.

Namun, keberadaan topeng dalam kehidupan ini tentu masih ‘diperlukan’ bagi orang kebanyakan (baca: orang biasa). Baginya, topeng adalah hanya sebagai sarana untuk menjalankan perintah-Nya dan selalu mendekatkan diri, lagi tidak mempersekutukan-Nya. Singkatnya, ia tidak terpedaya oleh topeng yang digunakannya. Apalagi sampai enggan untuk menanggalkannya. Yang akhirnya, dapat menjauhkan dari predikat jadi orang biasa, karena kepura-puraan (topeng) itu telah memperdayanya. Naudzubillah min dzalik.

Betapa enaknya, jadi orang biasa. Pribadinya akan terasa senang (pada perasaan lidah, badan atau hati); sedap; nyaman dalam setiap menjalankan misi kehidupan di dunia yang fana ini. Dalam hal ini, Allah SWT menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw sendiri adalah manusia biasa. Katakanlah: “Bahwasannya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasannya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya), ….” (QS. Fushshilat: 6-8).

Berikut ini, ada beberapa perilaku kehidupan ala orang biasa yang dapat menjadi tarbiyah bagi kita yang merindukan enaknya hidup ini.

1. Biasa Ala Orang yang Berilmu

Orang berilmu berarti orang yang banyak ilmunya; berpengetahuan; pandai. Dengan ilmu, seseorang akan diberi cahaya dalam hidupnya. Ilmu laksana obor dalam kegelapan. Di sinilah, pentingnya ilmu dalam hidup manusia. Sehingga, pantas saja Rasulullah saw bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim laki-laki dan perempuan.”

Perilaku biasa ala orang berilmu, tentu akan berbeda dengan orang yang tak berilmu. Allah berfirman, “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadillah: 11),

Imam Al Ghazali dalam Mukhtasar Ihya’ Ulumuddin, mengungkapkan bahwa derajat itu tergantung pada dekat dan jauhnya ilmu itu dari akherat (baca: ilmu agama Islam-Pen). Sebagaimana ilmu-ilmu syar’iyah mengungguli ilmu-ilmu lainnya, ilmu yang berkaitan dengan hakikat hukum-hukum syar’iyah mengungguli ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum dhahir. Orang yang faqih memutuskan berdasarkan dhahirnya, apakah hukumnya sah atau tidak, dan dibalik itu terdapat ilmu untuk mengetahui apakah ibadah diterima atau ditolak. Inilah perilaku biasa ala orang yang berilmu (ilmu-ilmu kesufian).

Adalah Ahmad bin Yahya berkata, “Pada suatu hari Asy Syafi’i keluar dari pasar yang menjual lampu-lampu. Kemudian kami mengikutinya. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang mencela seorang laki-laki ahli ilmu.” Kemudian Asy-Syafi’i menoleh kepada kami seraya berkata, “Bersihkan pendengaran kalian dari mendengarkan omongan yang keji sebagaimana kalian membersihkan lidahmu dari mengucapkannya, karena pendengar itu bersekutu dengan orang yang mengucapkannya.”

Lebih jauh dari itu, biasa ala orang berilmu, maka ia akan memposisikan ilmunya semata-mata hanya dari Allah. Dan semakin banyak mereka menimba ilmu, hati kecilnya akan berkata, “Maha Besar ilmu Allah itu!” Hal ini seperti terungkap dalam QS. Al Israa’: 60, “…. Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia ….”

Jadi, biasa ala orang berilmu, ia tidak akan menjadi sombong, riya dan takabur dengan ilmu yang dimilikinya. Tapi, justru akan berusaha mengamalkan ilmunya dan sebagai sarana berbuat baik kepada sebanyak-banyaknya manusia.

Asy-Syafi’i berkata, “Seorang bijak menulis surat kepada seorang bijak.” Ia berkata, “Engkau telah diberi ilmu, maka jangan kotori ilmumu dengan kegelapan dosa-dosa sehingga engkau tetap dalam kegelapan disaat ahli ilmu diterangi oleh cahaya ilmu mereka.”

Secara demikian, biasa ala orang berilmu akan membatasi dirinya dalam memberikan informasi dengan cara tidak menyampaikan sesuatu di luar jangkauan akal lawan bicaranya. Hal ini seirama dengan sabda Rasulullah saw, “Kami –para Nabi—diperintahkan agar memperlakukan manusia sesuai dengan kedudukannya dan berbicara kepada mereka sesuai dengan kemampuan akalnya,” dan “Apabila seseorang itu berbicara dengan orang lain dengan bahan pembicaraan yang berada diluar kemampuan akalnya berarti ia telah menyebarkan fitnah kepada sesamanya.”

Dalam bahasa lain, Imam Malik bin Anas mengungkapkan, “Tidak pantas bagi seseorang alim berbicara tentang sesuatu ilmu di hadapan orang yang tidak mampu memikirkannya, sebab yang demikian itu sama artinya dengan merendahkan dan menghinakan derajat ilmu itu sendiri.”

Sesungguhnya orang-orang berilmu tidak akan memuji-muji dirinya sendiri, karena apabila seseorang telah memuji-muji dirinya, maka lenyaplah wibawanya. Ilmu itu bukanlah diukur dari banyaknya riwayat yang disampaikan seseorang, tetapi ia merupakan cahaya yang ditempatkan Allah dalam kalbunya. Betapa enaknya, bila kita mampu bersikap biasa ala orang berilmu seperti itu!

2. Biasa Ala Orang yang Berharta
Harta berarti (barang-barang, uang, dsb yang menjadi) kekayaan. Jadi, yang dikatakan harta tidak cukup hanya uang (seperti emas, perak) atau sesuatu yang dapat menggantikannya (seperti uang kertas, dll), namun juga adalah sesuatu yang mungkin dapat menggantikannya.

Berharta, artinya mempunyai harta; kaya. Sesungguhnya orang yang dikatakan kaya dengan harta, adalah mereka yang dalam usahanya itu dari usaha yang halal, serta dapat melaksanakan hak-hak Allah atas hartanya tersebut. Dari sini, biasa ala orang berharta akan memposisikan hartanya sebagai jalan, bukan satu-satunya tujuan, dan bukan pula sebagai sebab yang dapat menjelaskan semua kejadian-kejadian. Lebih jauh, ia dalam hidupnya akan mengaktualisasikan amanah Allah sesuai dengan QS. Al Baqarah: 67, yaitu “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir tetapi adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”

Harta menurut permohonan Islam, adalah harta Allah yang telah dikuasakan kepada manusia. Artinya harta itu adalah harta Allah sedangkan manusia itu terikat dalam membelanjakan hartanya dengan ketentuan-ketentuan yang disyariatkan-Nya.

Dalam Islam, biasa ala orang berharta, maka dirinya akan selalu terdorong untuk membelanjakan hartanya, dan melarang menjatuhkan dirinya kepada kehancuran. Allah berfirman, “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Baqarah: 195).

Dalam hal ini, Al Manawy mengatakan, “Harta itu tidak akan tercela dengan sendirinya, maka sesungguhnya harta dunia itu adalah ladang di akherat. Barangsiapa mengambil harta dunia itu dengan memelihara hukum syariat, maka Allah akan memberi pertolongan di akheratnya.” Jadi, harta itu bagaimana orang yang memilikinya. Karena harta bisa menjadi jalan kebaikan buat kita dan juga bila tidak berhati-hati ia akan memperbudak diri kita.

Dalam Alquran, Allah mengabadikan kisah atas kekikiran orang berharta, tidak lain sebagai pelajaran buat umat saat ini dan yang akan datang. Sebagai contoh adalah kisah Tsa’labah yang telah mengingkari janjinya sendiri setelah banyak hartanya, sehingga turun ayat Allah yang berbunyi (artinya), “Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh. Tetapi setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakang (kebenaran). Sebab itu Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah (yang demikian itu) karena mereka itu telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya. Dan (juga) karena mereka selalu berdusta.” (QS. At Taubah: 75-77).

Ayat di atas, telah memberi peringatan atas orang yang kikir atas hartanya. Sehingga dari kisah ini seharusnya dapat mendorong kekuatan sifat pemurah dan akan memulyakan dirinya sendiri (berinfak). Karena kekikiran itu sesungguhnya akan berbalik terhadap dirinya sendiri (baca: QS. Muhammad: 38).

Nabi saw bersabda, “Hai anak Adam, sesungguhnya jika engkau memberikan kelebihan untuk berinfak adalah lebih baik bagimu. Dan jika engkau kikir adalah lebih buruk bagimu. Dan janganlah kamu boros terhadap kekayaanmu. Dan bantulah kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Dan tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” (HR. Muslim, Turmudzi).

Dalam hadits lain disebutkan, “Jagalah kamu dari sifat kikir, karena sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang sebelum kamu telah binasa, disebabkan kekikiran." (HR. Dawud).

Jadi, biasa ala orang berharta, maka dirinya tidak akan rela dan tidak berniat sedikit pun untuk menenggelamkan dirinya dengan kekayaan harta yang dimilikinya di luar tutuntan-Nya.

3. Biasa Ala Orang yang Diamanahi Jabatan

Jabatan diartikan sebagai pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi. Orang yang memegang jabatan penting itu, dinamakan pejabat/ penguasa. Di sini, orang yang diamanahi jabatan menjadi sesuatu yang potensial. Yakni bisa menjadi jalan kemulyaan, bila mampu menunaikan amanah (jabatan) itu sesuai tuntunan-Nya. Sebaliknya, menjadi bencana bila kita tidak mampu dan berhati-hati menjaga amanah itu.

Dalam pandangan KH Miftah Faridl, diantara sekian banyak penyakit yang paling berbahaya jika hinggap pada diri penguasa (baca: penjabat-Pen) adalah jika ia sudah merasa berkuasa. Jika seorang penguasa kemasukan nafsu ingin berkuasa dan mulai mengkuasai, tidak ada lagi kekuasaan lain yang diakui dan dipatuhinya, maka sikap ini tdak saja membahayakan kehidupan masyarakat dan negara, tapi juga mengancam perdamaian dunia. Pejabat seperti ini, jelas-jelas akan mendapatkan buah kerugian.

Untuk mencegah hal itu, setiap kita harus bisa memagari pejabat agar tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk mengembangbiakkan penyakit ini pada dirinya. Harus diciptakan sebuah sistem yang memungkinkan seorang penguasa tunduk pada hukum-hukum Allah dan Rasulnya. Sikap demikian, tentunya akan lahir dari seorang pejabat yang benar-benar memfungsikan amanah itu sesuai dengan ketentuan-Nya. Inilah sikap biasa ala orang yang diamanahi jabatan.

Berkait dengan itu, Allah SWT dalam Alquran menetapkan bahwa: “…. (kaum muslimin adalah) orang-orang yang jika Kami beri mereka kekuasaan di muka bumi, niscaya mereka dirikan shalat, tunaikan zakat, menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah perbuatan mungkar …..” (QS. 22: 41).

Ayat di atas, jelas-jelas bahwa orang yang diamanahi jabatan (kekuasaan) harus terbiasa menjalankan perintah-Nya dan menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah perbuatan mungkar. Selain itu, amanah jabatannya akan ia posisikan dalam koridor untuk mencapai derajat takwa, karena hanya itulah kemulyaan dalam pandangan-Nya (baca: QS. 49: 13).

Untuk itu, biasa ala pejabat harusnya akan melahirkan perilaku yang jauh dari kesombongan dan kemungkaran. Baginya, jabatan hanya sebagai jalan mencapai kemulyaan di hadapan-Nya. Dan kelihatannya, penyimpangan para pejabat dewasa ini, adalah akibat hilangnya atas kesadaran moral seperti itu.

Pada tatanan ini, kiranya patut direnungkan dan dikedepankan apa yang dinasehatkan Kiai kepada seorang muridnya, yang telah mengemban jabatan sebagai khalifah (pimpinan) di suatu daerah. Nasehat ini, beliau sampaikan pada acara syukuran yang digelar di pesantren asuhan seorang Kiai, guru pejabat yang mengundangnya tersebut.

Nasehat untuk khalifah itu, ada tiga hal utama. Pertama, nasehat supaya menabung kesadaran dan berhemat kata-kata. Di tengah masyarakat yang sedang bingung memilih pegangan hidup untuk (belajar) berjamaah dan berjami’iyah secara baik, tentu kedua hal itu teramat penting dilakukan oleh pejabat dewasa ini.

Kedua, berupa menyadarkan seluruh tim sukses yang memberikan dukungan kepadanya, untuk mulai memainkan peran baru, yaitu tidak lagi hanya pendukung semata, tapi harus berperan sebagai pengawas utama atas jabatan yang diembannya. Peran ini begitu penting, biar perilakunya selalu terkontrol dan terawasi, agar berada dalam rel kebenaran-Nya.

Ketiga, keberhasilan yang digapai oleh seorang pejabat, sesungguhnya bukanlah dihasilkan oleh dirinya sendiri, melainkan keberhasilan yang dikondisikan oleh Allah dan memperoleh respons positif seluruh rakyat, masyarakat yang dipimpinnya. Pencapaian itu, tidak lain karena ia diberi kemampuan oleh Allah untuk menegakkan sikap amanah, shiddiq, fathonah, dan tabligh secara tepat. Untuk itu, ia harus banyak-banyak bersyukur atas segala nikmat yang telah dikaruniakan-Nya tersebut.

Setidaknya, dengan ketiga nasehat Kiai itu, akan dapat membantu mewujudkan sikap biasa ala orang yang diserahi jabatan seperti yang diharapkan dalam QS. (22): 41 dan QS. (49): 13.

4. Biasa Ala Orang yang Bergelar

Gelar berarti sebutan (titel seperti raden, tengku, Dr., Ir. dsb); nama tambahan (sesudah kawin); nama tambahan sebagai kehormatan menurut adat; nama yang bukan sebenarnya, hanya diambil dari sifat keadaan orang. Sehingga orang yang bergelar adalah orang yang memakai gelar (sebutan); orang yang memakai nama tambahan; orang yang mempunyai sebutan.

Pencantuman gelar seseorang adalah sah-sah saja, sepanjang tujuannya untuk kebaikan dan bukan sebagai hinaan, kesombongan dan riya. Lagian, kemulyaan seseorang itu tidak semata-mata ditentukan atas gelar (keduniawian). Tapi, di hadapan Allah SWT, ketakwaanlah yang menentukan derajat kemulyaan seseorang. Jadi, gelar itu dapat dipergunakan seandainya hal itu akan mengantarkan kedekatan dirinya terhadap-Nya. Sebaliknya, penggunaan gelar yang tidak pada tempatnya, justru akan mengurangi kewibawaannya, serta menunjukkan kelemahan diri sendiri yang sesungguhnya.

Berkait dengan gelar ini, Alquran menyebutkan bahwa kita diperintahkan untuk tidak memanggil seseorang dengan gelar yang buruk. “….dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Hujuraat: 11).

Di sini, panggilan yang buruk ialah gelar-gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari dengan gelar itu, seperti panggilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata: hai fasik, hai kafir dan sebagainya.

Pada tatanan ini, konsep biasa ala orang bergelar tidak lain adalah mereka yang memposisikan gelar yang disandangnya sebagai sesuatu yang sesuai dengan usaha yang diperbuatnya dan gelar itu semata-mata hanya sebagai jalan mengharap ridha-Nya.

Keberadaan gelar pada seseorang ini, tentu harus disikapi secara bijaksana, karena hal itu semata-mata hanya ujian dari Allah SWT. Artinya, gelar itu bisa mengantarkan kemulyaan seseorang di hadapan-Nya dan bila tidak hati-hati menjaga amanah tersebut akan berbuah keterpurukan bagi diri sendiri dan bangsanya.

Dewasa ini, kita menyaksikan dan menemukan begitu banyak di negara Indonesia yang rakyatnya telah memiliki gelar –yang semestinya patut dibanggakan dari segi keilmuan bagi kemajuan bangsanya--. Tapi, nyatanya saat ini bangsa kita telah mengalami keterpurukkan yang berlarut-larut. Salah satu faktornya ialah gelar-gelar yang disandangnya itu semata-mata hanya untuk mengejar jabatan tertentu. Yang kadangkala perilakunya tidak sejalan dengan gelar yang disandangnya. Dan lebih parah lagi, gelar itu didapatnya dengan cara yang tidak halal, yaitu melalui manipulasi dan kolusi (baca: gelar palsu).

Sebuah sumber menyebutkan bahwa salah satu “penyakit kronis” di dunia pendidikan kita adalah menyebarnya virus gelar palsu, mulai dari jenjang S1, S2 hingga S3. Bahkan kini telah pula merebak praktek jual beli gelar Doctor Honoriz Causa (DHC) serta gelar Prof. Kasus terbaru adalah terkuaknya gelar Profesor “palsu” yang diberikan oleh Northern Global California University (25/02/2002) kepada Bupati Ponorogo (Jawa Timur), HM. Markum Singodimedjo, MM. Padahal gelar pascasarjananya (MM) juga masih dipertanyakan.

Selain itu, pada tahun 2000 lalu, dunia pendidikan tinggi pernah dipermalukan oleh terungkapnya kasus Drs. Syaifur S. Azhar, MS (Ipong) dari Fak. Ilmu Sosial dan Politik UGM (Yogyakarta). Pasalnya, disertasinya dituduh menjiplak skripsinya Mochamad Nurhasim (1996), alumnus Program Studi Ilmu Politik Universitas Airlangga (Surabaya). Akhirnya UGM memutuskan untuk membatalkan gelar doktornya serta tidak memberinya kesempatan mengulang atau memperbaiki disertasinya. Lebih parahnya lagi, ada institusi pendidikan pemberi gelar yang terkecoh oleh gelar palsu. Universitas Jenderal Soedirman (Purwokerto) sebagai contoh, pada tahun kemarin (2001) baru mengetahui bahwa seorang dosennya di bidang psikologis sosial, ternyata mencantumkan gelar DR. palsu. Naudzubillah!

Itulah potret keberadaan gelar di negeri ini. Sehingga bisa jadi hal ini sebagai salah satu penyebab dari keterpurukan bangsa Indonesia. Bukankah Allah SWT berfirman dalam QS. Al A’raaf: 40, “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit –doa dan amal mereka—dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan.”

Jadi, perilaku tersebut adalah sangat bersebrangan dengan ketentuan-Nya atas hakekat keberadaan gelar pada diri manusia. Sehingga seharusnya manusia menjadikan gelar itu sebagai sesuatu yang dapat mempererat kedekatan kita kepada-Nya dan berguna bagi sebanyak-banyaknya manusia. Inilah, esensi dari biasa ala orang bergelar tersebut.

5. Biasa Ala Orang yang Diberi Kelebihan Fisik

Fisik diartikan jasmani, badan. Kelebihan fisik berarti mempunyai keunggulan (kepandaian, dsb yang melebihi orang lain) dalam anggota jasmani/ badannya. Jadi, orang yang diberi kelebihan fisik itu adalah mereka yang memiliki kelebihan dari orang lain dan bukan berarti ia tidak memiliki kekurangan pada dirinya.

Setiap manusia, siapa pun dia pasti memiliki kekurangan. Ada yang kekurangannya berupa fisik (wajah, tubuh, dll), ada juga kekurangannya terdapat pada kepribadiannya (misalnya sombong, minder, curigaan terus, tidak bertanggung jawab, dsb). Dalam suatu sumber disebutkan bahwa tidak ada seorang pun yang sempurna di dunia ini terkecuali Rasulullah yang mendekati kesempurnaan sebagai mahluk (manusia paripurna).

Di sini, perlu ada kesadaran yang tidak boleh dilupakan bahwa di balik kelemahan itu pasti ada juga kelebihannya. Begitu pun sebaliknya. Dan pada koridor inilah, predikat biasa ala orang yang diberi kelebihan fisik (oleh Allah SWT) itu menjalani hidupnya.

Aktualisasi orang semacam itu, bukanlah ia menunjukkan kesombongan terhadap kelebihan fisiknya. Tapi, lebih dari itu, justru ia berperilaku sangat bijaksana. Yaitu setiap kekurangan dirinya segera diperbaiki –selagi itu masih memungkinkan--, karena hal ini penting untuk mengembangkan diri seseorang. Tetapi bila tidak bisa diperbaiki (baca: cacat fisik, dll), ya tidak ada jalan lain selain berusaha menerima kekurangan itu dan mengkompensasikannya dengan memaksimalkan atau menonjolkan kelebihan yang ada pada diri kita, sehingga orang lain tidak lagi memandang ke arah cacatnya, tapi lebih kepada kelebihan yang kita miliki. Dan ingat, hal ini bukan berarti sombong. Karena sombong itu bila kita merasa tidak memiliki kekurangan.

Lebih dari itu, biasa ala orang yang diberi kelebihan fisik, maka perilaku yang ditonjolkan tidak harus berupa fisik semata-mata. Tapi, justru ia lebih mengutamakan aspek kepribadian dan intelektualitasnya dalam menjalankan hidup mengharap ridha-Nya itu.

Jadi, bentuk fisik manusia bukanlah sesuatu yang mutlak menentukan kualitas ketakwaan seseorang di hadapan-Nya, karena fisik itu hanyalah sarana dalam berkhidmat pada Sang Pemilik fisik itu sendiri, yaitu Allah Azza wa Jalla. Dan bukankah, pada hakekatnya setiap manusia itu lebih sempurna dari mahluk lainnya? (baca: QS. 17: 70).

Akhirnya, kita berdoa kepada Allah SWT agar selalu dijauhkan dan dilindungi dari setiap tipu muslihat aksesoris dunia (seperti ilmu, harta, jabatan, gelar, kelebihan fisik, dll) yang dapat menyesatkan hidup kita di dunia, lebih-lebih ia dapat menjadi bahan pemberat timbangan keterpurukan hidup kita di akherat kelak. Amin.***

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.

No comments:

Post a Comment

Test Footer


BLOG IS MY SALESMAN ARDA DINATA:
ARDA BLOGGING SUCCESS:
| PULSA KEKAYAAN GRATIS | Arda News Success | Blogging Success | Wisdom Business | Quantum Writers | Inspiring Intelligence | Mosquito & Public Health | Getting Rich | Writers Success | Sprituality Health | Farmakologi | Sanitary | Physiology | House Keeping | Pollution News | Photografy|


| ARDA EKLIPING INDONESIA | Cara Menjadi Kaya | Dunia Kesehatan Spritual | Dunia Pustaka dan Referensi | Dunia Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang | Dunia Kesehatan Lingkungan | ALIFIA E-Clipping and Reviewing | Reuse News Indonesia | ARDA Reseller News | Rahasia Penulis Sukses | Reseller News Indonesia |

MENU ARDA EKLIPING INDONESIA:
| BERANDA KLIPING | KLIP IPTEK | KLIP PSIKOLOGI | KLIP WANITA | KLIP KELUARGA | KLIP ANAK CERDAS | KLIP BELIA & REMAJA | KLIP GURU & PENDIDIKAN | KLIP HIKMAH & RENUNGAN |

MENU HIDUP SEHAT DAN KAYA:
| Dunia Spritual dan Kesehatan | Rahasia Menjadi Kaya | Dunia Reseller | Reuse News | Pustaka Bisnis |

MENU ARDA PENULIS SUKSES:
| Inspirasi Penulis | Rahasia Penulis | Media Penulis | Sosok Penulis | Pustaka Penulis |

MENU AKADEMI PEMBERANTASAN PENYAKIT BERSUMBER BINATANG:
| Dunia P2B2 | Dunia NYAMUK | Dunia LALAT | Dunia TIKUS | Dunia KECOA | Pustaka P2B2 |

MENU AKADEMI KESEHATAN LINGKUNGAN:
| Inspirasi ARDA | Dasar KESLING | P.Sampah | Tinja & Aair Limbah | Binatang Pengganggu | Rumah & Pemukiman Sehat | Pencemaran Lingkungan Fisik | HYPERKES | Hygiene Sanitasi Makanan | Sanitasi Tempat Umum | Air Bersih | Pustaka Kesehatan |

MENU MIQRA INDONESIA:
| Home Inspirasi | Opini | Optimis | Sehat-Healthy | Keluarga-Family Life | Spirit-Enthusiasm | Ibroh-Wisdom | Jurnalistik | Lingkungan-Environment | Business | BooK | PROFIL | Jurnal MIQRAINDO | Reseller News Indonesia |

DAFTAR KORAN-MAJALAH INDONESIA:
| Pikiran Rakyat | KOMPAS | Galamedia | Republika | Koran Sindo | Bisnis Indonesia | Sinar Harapan | Suara Pembaruan | Suara Karya | Suara Merdeka | Solo Pos | Jawa Pos | The Jakarta Post | Koran Tempo | Media Indonesia | Banjarmasin Post | Waspada | Suara Indonesia Baru | Batam Pos | Serambi Indonesia | Sriwijaya Post | Kedaulatan Rakyat | Pontianak POS | Harian Fajar | Harian Bernas | Bangka Post | Harian Surya | Metro Banjar | Pos Kupang | Serambi Indonesia | Kontan | Majalah Gamma | Majalah Gatra | Majalah Angkasa | Majalah Intisari | Majalah Info Komputer | Majalah Bobo | Majalah Ummi | Majalah Sabili | Majalah Parentsguide | Majalah Suara Muhammadiyah | Majalah Amanah | Majalah Tabligh | Majalah Insight |Majalah Annida | Majalah Network Business | Tabloid PC+ | Majalah Komputer Easy | Tabloid NOVA |Loka Litbang P2B2 Ciamis |


MIQRA INDONESIA GROUP
Kantor Pusat
: Jl. Raya Panganadaran Km.3 Pangandaran Ciamis 46396
Telp. (0265) 630058
Copyright © 2006-2010, Miqra Indonesia,
Email : miqra_indo@yahoo.co.id
Homepage : http://www.miqra.blogspot.com/
Design by Arda Dinata,
Wong Tempel Kulon - Kec. Lelea - Kab. Indramayu - Indonesia